Wednesday, April 25, 2012

Catatan Ichiyo, Perempuan Miskin di Lembar Uang Jepang - Rei Kimura



Judul               : Catatan Ichiyo, Perempuan Miskin di Lembar Uang Jepang
Penulis             : Rei Kimura
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : 2012

Beberapa orang dilahirkan untuk bekerja keras sementara yang lain dilahirkan untuk hidup enak dan bahagia.

Kutipan di atas, yang diambil dari novel tersebut, kurang lebih inti yang dapat diambil dari tokoh Ichiyo Higuchi. Ichiyo seorang perempuan Jepang pada zaman Meiji, yang begitu mencintai sastra namun ternyata kematian lebih menyayanginya. Dalam usia yang relatif muda, 24 tahun, Ichiyo meninggal di awal ketenarannya sebagai penulis.

Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Ichiyo dan keluarganya. Dibuka dengan kisah pada hari Ichiyo meninggal, 22 November 1896. Kemudian bab berikutnya masuk pada kisah pertemuan ayah dan ibu Ichiyo, Noriyoshi Higuchi dan Furuya Ayame.

Pertemuan yang tidak sengaja ternyata membuat Noriyoshi dan Furuya jatuh cinta. Sayangnya hubungan cinta mereka tidak direstui oleh keluarga Furuya. Hubungan diam-diam yang mereka lakukan bahkan sampai melanggar norma-norma masyarakat. Furuya pun hamil. Tidak ingin memberikan aib dan mencemarkan nama keluarganya, Noriyoshi dan Furuya pergi dari desa mereka yang terpencil menuju kota Edo.

Noriyoshi sangat berambisi ingin menaikan status keluarganya, dari petani menjadi keluarga samurai. Berbagai pekerjaan dan pendekatan dilakukan. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang diperlukan tidak sedikit. Tapi pada akhirnya Noriyoshi bisa menaikan status keluarganya.

Ichiyo, yang terlahir dengan nama Natsuko, lahir sebagai putri kedua, anak kelima. Awalnya Furuya mencoba mengaborsi janinnya, namun ternyata janin itu begitu kuat dan bisa keluar dari rahimnya dengan sehat. Kelahiran Ichiyo menjadikan keluarga itu semakin bahagia. Ayah dan ibunya merasakan energi yang kuat dari putri kecilnya itu.

Sejak kecil Ichiyo begitu mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya. Ia begitu cerdas, mudah mencerna setiap hal yang diajarkannya, bahkan Ichiyo kecil dapat memahami syair-syair yang dibacakan oleh ayahnya. Tidak heran gadis berusia enam tahun itu menjadi anak kesayangan ayahnya. Ia tumbuh dewasa sebelum waktunya.

Kemampuan Ichiyo dalam bidang sastra sungguh mengagumkan. Ichiyo sering tampil membacakan sajak di depan tamu ayahnya dari dunia sastra yang elite. Dengan cepat Ichiyo menjadi perhatian banyak sastrawan itu.

Tapi hidup Ichiyo dan keluarganya tidak begitu beruntung. Anak kedua keluarga Higuchi, Sentaro, mengidap penyakit tuberkolosis yang membuat keuangan keluarga itu carut-marut karena biaya pengobatan yang mahal. Terlebih Sentaro merupakan putra tertua yang padanya dibebankan harapan keluarga. Sentaro tidak bisa melawan penyakitnya dan meninggal dalam sakit.

Kepergian Sentaro menjadikan ayah Ichiyo semakin buruk. Neraca keuangan mereka semakin merosot ke bawah. Penyakit yang diderita Sentaro ternyata juga berjangkit pada diri ayahnya dan akhirnya meninggal dalam usia 57 tahun. Setelah itu Ichiyo sadar bahwa kehidupan keluarganya, ibu dan adiknya Kuniko, ada di pundaknya.

Entah sudah berapa kali ketiga perempuan Higuchi itu berpindah rumah. Status keluarga mereka yang dibangun dengan susah payah oleh Noriyoshi pun semakin lama semakin menurun. Furuya dan Kuniko bahkan menerima upah dari mencuci dan menjahit pakaian. Sementara itu Ichiyo tetap menulis. Ia begitu didukung oleh ibu dan adiknya. Keduanya percaya bahwa Ichiyo akan menjadi penulis terkenal nantinya.

Pertemuan Ichiyo dengan seorang penulis terkenal, Nakarai Tosui, membuat hidup Ichiyo berwarna. Di satu sisi Ichiyo menganggap Tosui sebagai mentor menulisnya dan di sisi lain Ichiyo sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada pria itu. Dengan bantuan Tosui, Ichiyo pun bisa menerbitkan bukunya yang pertama. Namun berita miring tentang Tosui membuat Ichiyo mau tidak mau harus berhenti bertemu dengan Tosui.

Sebagai penulis perempuan, Ichiyo begitu diacuhkan. Pada zaman itu perempuan dianggap tidak layak untuk menjadi orang yang memiliki inteltualitas yang tinggi. Tugas mereka hanyalah menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Pemikiran itu begitu jauh dari Ichiyo. Dari karya-karyanya orang bisa melihat bahwa Ichiyo paham benar apa itu perbedaan gender, kemiskinan, dan kehidupan orang-orang yang diabaikan. Perjalanan hidup yang begitu menyedihkan menjadi sumber inspirasi dari karya-karyanya.

Di penghujung hidupnya, Ichiyo mendapatkan apa yang ia angan-angankan. Buku-bukunya terkenal dan laris. Ia pun dipuji oleh banyak orang, termasuk sastrawan-sastrawan yang berpengaruh pada zaman itu. Pemikiran dan semangatnya sebagai perempuan menjadi nilai tambah baginya.

Namun sayang, Ichiyo tidak menyayangi tubuhnya. Ketika sadar bahwa ia mengidap penyakit yang sama dengan ayah dan kakaknya, ia mengacuhkannya. Ia sedang berada di popularitasnya sebagai penulis dan tidak ingin penyakitnya akan menjatuhkannya kembali. Sampai akhirnya, Ichiyo menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke-24.

Sosok Ichiyo dikenal sederhana oleh keluarga dan para penggemarnya. Ia tidak peduli seburuk apa kimono yang dipakainya. Ia hanya peduli pada karya-karya yang akan dihasilkannya dan ia tahu bahwa ia berbakat dalam bidang itu.

Ichiyo merupakan perempuan satu-satunya di Jepang yang wajahnya diabadikan dalam uang kertas 5000 yen Jepang. Penghormatan yang diterima jauh setelah ia meninggal menjadikan Ichiyo sebagai seorang penulis wanita yang dikenal sepanjang masa.

Ichiyo, perempuan miskin yang bekerja keras sepanjang hidupnya. Ketika kebahagiaan menghampirinya, ia harus merelakan hidupnya dijemput oleh maut. Tapi ternyata usahanya lebih kekal dari kefanaan tubuhnya sendiri.


No comments:

Post a Comment