Judul :
Catatan Ichiyo, Perempuan Miskin di Lembar Uang Jepang
Penulis :
Rei Kimura
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
2012
Beberapa orang dilahirkan untuk bekerja
keras sementara yang lain dilahirkan untuk hidup enak dan bahagia.
Kutipan di atas, yang diambil dari novel
tersebut, kurang lebih inti yang dapat diambil dari tokoh Ichiyo Higuchi.
Ichiyo seorang perempuan Jepang pada zaman Meiji, yang begitu mencintai sastra
namun ternyata kematian lebih menyayanginya. Dalam usia yang relatif muda, 24
tahun, Ichiyo meninggal di awal ketenarannya sebagai penulis.
Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Ichiyo
dan keluarganya. Dibuka dengan kisah pada hari Ichiyo meninggal, 22 November
1896. Kemudian bab berikutnya masuk pada kisah pertemuan ayah dan ibu Ichiyo,
Noriyoshi Higuchi dan Furuya Ayame.
Pertemuan yang tidak sengaja ternyata membuat
Noriyoshi dan Furuya jatuh cinta. Sayangnya hubungan cinta mereka tidak
direstui oleh keluarga Furuya. Hubungan diam-diam yang mereka lakukan bahkan
sampai melanggar norma-norma masyarakat. Furuya pun hamil. Tidak ingin
memberikan aib dan mencemarkan nama keluarganya, Noriyoshi dan Furuya pergi
dari desa mereka yang terpencil menuju kota Edo.
Noriyoshi sangat berambisi ingin menaikan
status keluarganya, dari petani menjadi keluarga samurai. Berbagai pekerjaan
dan pendekatan dilakukan. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang diperlukan
tidak sedikit. Tapi pada akhirnya Noriyoshi bisa menaikan status keluarganya.
Ichiyo, yang terlahir dengan nama Natsuko,
lahir sebagai putri kedua, anak kelima. Awalnya Furuya mencoba mengaborsi
janinnya, namun ternyata janin itu begitu kuat dan bisa keluar dari rahimnya
dengan sehat. Kelahiran Ichiyo menjadikan keluarga itu semakin bahagia. Ayah
dan ibunya merasakan energi yang kuat dari putri kecilnya itu.
Sejak kecil Ichiyo begitu mendapatkan
perhatian dari kedua orang tuanya. Ia begitu cerdas, mudah mencerna setiap hal
yang diajarkannya, bahkan Ichiyo kecil dapat memahami syair-syair yang
dibacakan oleh ayahnya. Tidak heran gadis berusia enam tahun itu menjadi anak
kesayangan ayahnya. Ia tumbuh dewasa sebelum waktunya.
Kemampuan Ichiyo dalam bidang sastra sungguh
mengagumkan. Ichiyo sering tampil membacakan sajak di depan tamu ayahnya dari
dunia sastra yang elite. Dengan cepat Ichiyo menjadi perhatian banyak sastrawan
itu.
Tapi hidup Ichiyo dan keluarganya tidak begitu
beruntung. Anak kedua keluarga Higuchi, Sentaro, mengidap penyakit tuberkolosis
yang membuat keuangan keluarga itu carut-marut karena biaya pengobatan yang
mahal. Terlebih Sentaro merupakan putra tertua yang padanya dibebankan harapan
keluarga. Sentaro tidak bisa melawan penyakitnya dan meninggal dalam sakit.
Kepergian Sentaro menjadikan ayah Ichiyo
semakin buruk. Neraca keuangan mereka semakin merosot ke bawah. Penyakit yang
diderita Sentaro ternyata juga berjangkit pada diri ayahnya dan akhirnya meninggal
dalam usia 57 tahun. Setelah itu Ichiyo sadar bahwa kehidupan keluarganya, ibu
dan adiknya Kuniko, ada di pundaknya.
Entah sudah berapa kali ketiga perempuan
Higuchi itu berpindah rumah. Status keluarga mereka yang dibangun dengan susah
payah oleh Noriyoshi pun semakin lama semakin menurun. Furuya dan Kuniko bahkan
menerima upah dari mencuci dan menjahit pakaian. Sementara itu Ichiyo tetap
menulis. Ia begitu didukung oleh ibu dan adiknya. Keduanya percaya bahwa Ichiyo
akan menjadi penulis terkenal nantinya.
Pertemuan Ichiyo dengan seorang penulis
terkenal, Nakarai Tosui, membuat hidup Ichiyo berwarna. Di satu sisi Ichiyo
menganggap Tosui sebagai mentor menulisnya dan di sisi lain Ichiyo sadar bahwa
ia telah jatuh cinta pada pria itu. Dengan bantuan Tosui, Ichiyo pun bisa
menerbitkan bukunya yang pertama. Namun berita miring tentang Tosui membuat
Ichiyo mau tidak mau harus berhenti bertemu dengan Tosui.
Sebagai penulis perempuan, Ichiyo begitu
diacuhkan. Pada zaman itu perempuan dianggap tidak layak untuk menjadi orang
yang memiliki inteltualitas yang tinggi. Tugas mereka hanyalah menjadi seorang
istri dan ibu yang baik. Pemikiran itu begitu jauh dari Ichiyo. Dari
karya-karyanya orang bisa melihat bahwa Ichiyo paham benar apa itu perbedaan
gender, kemiskinan, dan kehidupan orang-orang yang diabaikan. Perjalanan hidup
yang begitu menyedihkan menjadi sumber inspirasi dari karya-karyanya.
Di penghujung hidupnya, Ichiyo mendapatkan apa
yang ia angan-angankan. Buku-bukunya terkenal dan laris. Ia pun dipuji oleh
banyak orang, termasuk sastrawan-sastrawan yang berpengaruh pada zaman itu.
Pemikiran dan semangatnya sebagai perempuan menjadi nilai tambah baginya.
Namun sayang, Ichiyo tidak menyayangi
tubuhnya. Ketika sadar bahwa ia mengidap penyakit yang sama dengan ayah dan
kakaknya, ia mengacuhkannya. Ia sedang berada di popularitasnya sebagai penulis
dan tidak ingin penyakitnya akan menjatuhkannya kembali. Sampai akhirnya,
Ichiyo menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke-24.
Sosok Ichiyo dikenal sederhana oleh keluarga
dan para penggemarnya. Ia tidak peduli seburuk apa kimono yang dipakainya. Ia
hanya peduli pada karya-karya yang akan dihasilkannya dan ia tahu bahwa ia
berbakat dalam bidang itu.
Ichiyo merupakan perempuan satu-satunya di
Jepang yang wajahnya diabadikan dalam uang kertas 5000 yen Jepang. Penghormatan
yang diterima jauh setelah ia meninggal menjadikan Ichiyo sebagai seorang
penulis wanita yang dikenal sepanjang masa.
Ichiyo, perempuan miskin yang bekerja keras
sepanjang hidupnya. Ketika kebahagiaan menghampirinya, ia harus merelakan
hidupnya dijemput oleh maut. Tapi ternyata usahanya lebih kekal dari kefanaan
tubuhnya sendiri.
No comments:
Post a Comment