Monday, April 23, 2012

Harmony (2010)



Selain buku, film-film yang saya tonton kadang begitu membekas dalam kepala saya. Menjadikan saya berpikir jauh, membandingkannya dengan kehidupan nyata. Dengan media film, kita tidak perlu repot-repot membayangkan cerita yang diutarakan. Jelas. Namun karena kejelasannya itulah yang menjadikan beberapa film kemudian begitu melekat di kepala saya.

Saya suka film-film korea. Bukan hanya dramanya saja yang bisa saya tonton berulang kali, film-filmnya pun demikian. Dan film yang akan saya ceritakan di sini adalah Harmony (2010).

Film ini berkisah tentang kehidupan narapidana wanita. Tokoh utamanya Jong-hye, seorang wanita berusia 30-an. Film ini dibuka dengan adegan Jong-hye melahirkan dan langsung menuju waktu satu tahun kemudian ketika Min-woo, anak Jong-hye, berulang tahun.

Jong-hye dikenai hukuman sepuluh tahun penjara karena telah membunuh suaminya. Suaminya marah karena Jong-hye tidak mengangkat teleponnya. Ia beranggapan bahwa Jong-hye sedang bersenang-senang sehingga tidak mengangkat telepon darinya. Dengan kejam suaminya menendang perut Jong-hye, perut yang sudah berisi bayi yang akan segera lahir.

Jong-hye yang sedang hamil terpaksa melahirkan di dalam penjara dan hanya boleh mengasuh anaknya selama satu setengah tahun. Setelah itu, anaknya bisa dititipkan kepada saudara atau harus dilepaskan ke panti asuhan.

Kehidupan penjara di Korea jauh berbeda dengan kehidupan penjara di sini, sepanjang pengetahuan saya. Di sana mereka lebih tertib dan lebih rapi. Dalam sel terdapat sebuah televisi sehingga mereka dapat menonton acara-acara di kala senggang. Selain itu, mereka juga dapat menonton berbagai pertunjukkan yang diadakan di dalam penjara. Salah satunya adalah paduan suara.

Menonton pertunjukan itu membuat Jong-hye berpikir bahwa mereka pun seharusnya bisa membentuk sebuah kelompok paduan suara. Jong-hye yakin bahwa dengan nyanyian, para tahanan lebih bisa bertahan dalam menjalani hukuman di penjara. Terbentuklah kelompok tersebut ketika izin sudah didapatkan.

Yang menarik dari film ini bukan bagian paduan suaranya. Saya lebih tertarik pada setiap kisah di balik para tahanan tersebut. Hampir semua tokoh yang ada di film ini masuk penjara karena mereka lebih dahulu disakiti sehingga merasa tidak tahan dan akhirnya berbuat kejahatan. Jong-hye misalnya. Ia membunuh suaminya lebih karena ketidaksengajaan. Jong-hye mendorong suaminya sehingga suaminya jatuh dan menimpa meja kaca. Lalu ada seorang pegulat profesional yang mematahkan leher pelatihnya karena membawa kabur uang hasil usaha gulatnya. Ada seorang nenek yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh suami dan selingkuhannya. Dan seorang gadis muda membunuh ayah tirinya karena sudah bertahun-tahun memperkosanya.

Cerita-cerita mereka begitu menyakitkan. Sakit karena yang mereka bunuh adalah orang-orang yang pada dasarnya mereka sayangi. Sakit karena orang lain memandang merekalah yang salah, tanpa mencari tahu alasan mengapa mereka sampai bisa menjadi seorang pembunuh. Sakit karena satu per satu keluarga menjauhi mereka.

Ibu adalah benang merah dari tokoh-tokoh penting dalam film ini. Ada yang harus berpisah dari anaknya, ada yang berpisah dari ibunya, ada yang tidak bisa memaafkan ibunya, ada yang tidak bisa dimaafkan oleh anaknya. Karena mereka adalah wanita, mereka adalah ibu bagi satu dengan yang lainnya. Terutama tokoh nenek, Mun-ok. Sebagai tahanan tertua, ia menjadi sosok yang bijaksana, sayang, dan perhatian pada tahanan lainnya. Ia pula yang membimbing kelompok paduan suara itu sehingga dapat menyanyi dengan indahnya.

Film ini ditutup dengan haru. Paduan suara itu berkesempatan tampil dalam sebuah konser dan mereka boleh mengundang keluarga atau orang lain. Mereka diberikan kesempatan pula untuk bertemu setelah konser berakhir. Jong-hye akhirnya bisa bertemu dengan Min-woo yang tergabung dalam Yellow Ribbon Children Choir. Rasa rindu yang selama ini ada dalam diri Jong-hye teruak ketika bisa memeluk Min-woo. Meskipun Min-woo tidak tahu itu ibunya, Jong-hye tetap tersenyum padanya. Sakit. Pasti sakit.

Pertemuan-pertemuan itu dipenuhi dengan keharuan dan permohonan maaf. Ketika pelukan dan air mata membaur, segala kesesalan pun sirna. Maaf pun diberikan dan hubungan baik kembali terbina dengan keluarga. Namun nyatanya film ini ditutup dengan akhir yang menyedihkan, seolah-olah tidak ingin membuat penonton merasa senang.

Hukuman mati nenek dijatuhkan tidak lama setelah konser berakhir. Nenek diberi kesempatan sehari bersama kedua anaknya, anak-anak yang akhirnya bisa memaafkan kesalahannya berpuluh tahun silam. Dengan tangis, kepergian nenek menjalani hukumannya pun menutup film ini.

Meskipun ada beberapa hal-hal kecil yang mengganjal, film ini tetap memikat saya. Sederhana namun maknanya dalam. Toh tidak hanya saya yang mencucurkan air mata (duileee berlebihaaannn :P ), seorang teman saya pun diam-diam mengusap sudut matanya. Mungkin karena kami berdua wanita dan kami berdua sama-sama sensitif sehingga film ini begitu mengharu-biru. Tapi mungkin saja kalian yang menontonnya juga dibanjiri air mata karena memang filmnya yang mengharuskan kita berbuat demikian.

No comments:

Post a Comment