Tuesday, April 10, 2012

Catatan 27 Maret 2012


Ola! Setelah sekian lama saya ngga curhat di blog ini, kini saya muncul lagi. Hahaha... Apa sih? Catatan kali ini sudah kelewat lama tersimpan dan baru sempat saya post hari ini. Mungkin agak sedikit basi, tapi karena catatan ini memang saya tulis untuk blog, jadi yah di sinilah dia.

Heidegger mengatakan (dalam Budiman, 2007: 62) bahwa kita gembira dan menjadi bahagia seperti juga mereka; kita membaca dan menilai kesusasteraan seperti cara mereka membaca dan menilainya; kita menjadi terkejut tentang hal-hal yang mereka anggap mengejutkan. Mereka, yang dalam kenyataannya kita tidak tahu siapa, adalah salah satu bentuk dari bereksistensi kita.

Ini adalah cara bereksistensi dari kebanyakan orang yang oleh Heidegger disebut dengan istilah Das Man. Hidupnya hanyalah mengikuti “seperti yang dilakukan oleh semua orang” dan kalau kita tanyakan kepada tiap orang yang ada, ternyata tiap orang ini mengikuti “semua orang” ini. Sehingga “semua orang” ini sama dengan “tidak seorang pun”, dia hanyalah alasan untuk membenarkan cara bereksistensi kita, yang menolak kemerdekaan (Budiman, 2007:62).

Dua paragraf di atas kemudian menjadikan tulisan ini begitu berat dan mungkin terasa pintar. Pakailah kutipan yang meyakinkan, voila, jadilah tulisan ini begitu serius. Tapi saya yakinkan kalian, isi tulisan ini jauh dari pintar dan tidak ada kaitannya dengan pembahasan eksistensi apa pun. Tulisan ini lebih banyak berisi rasa kesal dan kegelisahan saya semata.

Hari ini, 27 Maret 2012, Indonesia bertemu lagi dengan ribuan atau mungkin puluh ribuan atau mungkin ratus ribuan pendemo yang bisa jadi terlihat lebih banyak karena bercampur baur dengan aparat keamanan, media, orang-orang yang numpang lewat, dan mereka yang sekadar ingin tahu. Aksi demo diadakan untuk menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dan saya, tidak akan ikut-ikutan merasa pintar berkomentar tentang itu.

Saya sadari saya pura-pura bodoh (atau memang benar-benar bodoh) untuk mengerti mengapa BBM harus naik ataukah mengapa BBM tidak boleh naik. Ruang lingkup saya kecil, hanya empat dinding ini yang senantiasa menemani saya sepanjang hari, setahun belakang. Saya toh tidak mau ambil pusing terhadapnya karena sudah cukup banyak orang-orang yang rela berpusing-pusingan untuk memikirkannya.

Jika kalian bilang harga minyak mentah dunia naik, saya akan mengerenyitkan alis. Hal itu di luar pengetahuan saya. Dunia lebih luas dari yang saya bisa jangkau, jadi untuk apa saya berusaha menjangkau apa yang tidak perlu saya jangkau. Jika kalian bilang seribu, lima ratus, atau berapa rupiah pun itu berharga bagi orang banyak, begitu pula dengan saya. Bagi saya, kehilangan seratus rupiah berarti kehilangan seribu rupiah. Apa artinya sembilan ratus jika tidak ada seratus rupiah?

Mengarah pada perkataan Heidegger di atas, itulah yang terjadi beberapa hari belakangan. Lini masa Twitter penuh dengan kata-kata BBM, demo, mahasiswa, aparat, koalisi, dan sebagainya dan sebagainya. Tidak mengherankan kemudian saya menjadi muak membaca lini masa yang berisi pikiran-pikiran dan caci-maki para kawan. Mereka kemudian menjadi merasa pintar telah masuk ke ranah itu. Saya sendiri termasuk orang mencaci-maki mereka yang berkomentar tentang itu.

Kalian berpikir, salah siapa punya Twitter, untuk apa ikut campur pada urusan mereka, dan unfollow saja cukup. Tidak bagi saya. Karena mereka berhak mengeluarkan pendapat mereka, saya juga berhak mengeluarkan pendapat saya di lini masa tersebut. Mereka beramai-ramai  berkomentar karena yang lain berkomentar dan saya pun berkomentar karena yang lain juga berkomentar. Saya toh termasuk mereka.

Apa yang menjadi kegelisahan mereka juga menjadi kegelisahan saya, tapi nyatanya kegelisahan saya jauh lebih dalam dari mereka. Kegelisahan saya berbeda. Sejarah menjadikan semuanya tidak bisa saya nikmati.

Ketika isu kenaikan BBM dan demo meruak, muncul pula orang-orang yang tidak bertanggungjawab menyebarkan isu pengulangan Mei 1998. Membaca “Mei 1998” saja sudah membuat perut saya bergejolak, membuat saya berdebar-debar, dan sulit tidur. Bagi mahasiswa dan aparat, Mei 1998 tentang anarkis. Bagi saya, Mei 1998 sebuah sejarah yang tidak mau kembali saya ingat.

Media komunikasi yang semakin canggih kemudian menjadikan setiap isu berkembang, lebih berkembang dari tangan ke tangan. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang tiba-tiba muncul atas dasar agama dan suku. Mereka dengan seenak jidatnya berlaku seperti orang tidak beradab. Membuat tulisan-tulisan menghasut, menjadikan orang-orang mencaci-maki dan mengeluarkan sumpah serapah yang paling kotor, dan mereka mungkin hanya tertawa-tawa melihatnya.

Saya begitu kesal pada seorang teman yang mengirimkan berita akan adanya isu pembantaian beberapa suku pada hari ini. Orang yang membuat isu itu bodoh, tapi lebih bodoh lagi teman saya yang menyebarkannya tanpa membaca dan mengkritisinya lebih jauh. Namun, jika dia saya katakan bodoh, maka masih banyak orang bodoh lain yang sama terpengaruhnya.

Tidak heran kemudian saya menjadi muak melihat isi lini masa yang berlomba-lomba menelurkan kalimat-kalimat paling bijak atau kalimat-kalimat yang dirasa mencerminkan masa sekarang. Tidak melihat lini masa, saya tidak tahu berita, membuat saya lebih cemas membayangkan hal yang tidak-tidak. Melihat lini masa, mau takmau berita bercampur dengan komentar-komentar para kawan. Serba salah.

Kegelisahan saya berbeda dengan kegelisahan mereka. Kami sama-sama gelisah. Tapi jika BBM tetap naik atau tidak naik, kegelisahannya akan hilang. Akan ada hasil akhir yang sudah ditetapkan. Toh kegelisahan mereka hanya di permukaan. Kegelisahan saya bercampur dengan rasa takut dan muak dengan keadaan. Ketika nanti ternyata BBM naik dan banyak orang tidak setuju, demo berjalan lagi. Dan terus dan terus dan terus. Dan saya akan terus gelisah.

Banyak yang mungkin tidak mengerti kegelisahan yang saya rasakan. Toh katanya masa itu sudah lama berlalu. Di alam bawah sadar saya mereka tidak pernah berlalu. Banyak masa kecil saya yang tidak bisa saya ingat, tapi kenangan ketakutan pada saat itu malah tidak bisa saya lupakan.

Tidak usah ikut-ikutan merasa yang paling pintar. Saya membenahi diri sendiri saja susah. Tapi nampaknya banyak orang yang sudah hidup dalam kebenaran yang dianggapnya paling benar.

Semua berubah. Waktu menjadikan manusia berubah. Tapi tidak disangka, menjadi dewasa malah membawa perubahan yang tidak pernah saya bayangkan. Yah, apa yang saya baca dengan apa yang mereka baca berbeda. Saya tenggelam dalam kisah-kisah petualangan anak-anak, dan mereka, entah apa. Mungkin, saya saja yang tidak berkembang.

___________________
Budiman, Arief. 2007. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Tegal: Wacana Bangsa.

No comments:

Post a Comment