Monday, November 12, 2012

Berawal dari Kasur, Kembali ke Kasur

Minggu, 11 November 2012

Hari ini dimulai dengan dering alarm yang seketika saya matikan kembali. Padahal pagi itu saya sudah punya janji. Beruntung tubuh tiba-tiba terbangun setengah jam kemudian. Segeralah saya bersiap.

Saya dan teman-teman dari Nalar akan pergi ke undangan salah satu teman kami di Bekasi. Kami berangkat sekitar pukul 08.30. Perjalanan bersama teman-teman selalu menyengkan.

Ya, layaknya undangan pernikahan. Demikianlah kami pulang dan merencanakan hendak ke jalan-jalan ke mana setelah ini. Hari masih siang.

Curug Cimahi. Ketika kemarin mendengar namanya saya tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Baru kemarin pertama kali ke Cimahi dan pertama kali mendengar Curug Cimahi. Kota Cimahi menyenangkan sejauh yang tampak di sepanjang perjalanan. Bangunan-bangunan klasik terpapar di sepanjang jalan. Udaranya sejuk padahal belum terlalu sore. Kontras dengan udara Bekasi yang membuat tangan takhenti mengibas-ngibas kipas.

Untuk mencapai curug (air terjun) kami harus melewati tangga-tangga yang sudah rapi dibangun. Bahkan untuk ukuran tempat wisata, tangga-tangga ini sungguh membanggakan karena lebih rapi dan 'serius digarap' daripada tempat wisata lain yang pernah saya kunjungi.

Tujuan Kami. Foto: Teh Mona

Tangga-tangga awal masih bisa tersenyum dan tertawa. Tangga-tangga pertengahan masih tersisa sedikit senyum dan tawa bekas tangga-tangga awal. Tapi di tangga terakhir, beberapa di antara kaki, kakinya gemetaran. Saya sampai takut kalau kaki saya berjalan sendiri saking gemetarnya. Hahaha...

Air yang memercik sungguh menyegarkan. Apalagi saat itu angin sepoi-sepoi membantu pergerakan percik air sehingga udara semakin segar. Sayangnya, kaki saya yang gemetaran membuat saya takut menapak batu-batu kokoh di sepanjang genangan air itu. Dan lagi, saya dari dulu takut melihat kumpulan air yang tidak bisa saya lihat ujung dalamnya.

Saat kaki gemetar. Foto: Teh Mona

Sudah nyaris gelap dan kami pulang. Membayangkan tangga-tangga yang akan saya daki membuat saya kembali gemetar. Sungguh bukan akhir yang diinginkan. Berharap ada helikopter mendekat dan membantu saya ke jalan pulang.

Bahkan baru belasan tangga saya capai, terasa perut sudah campur-aduk. Kembali membayangkan apa jadinya di tangga paling atas. Dengan nafas terputus-putus dan nyeri di perut bagian kanan, saya telusuri satu demi satu tangga itu. Beberapa teman sudah tidak terlihat dan beberapa teman masih setia menunggui, meskipun saya tahu pasti mereka kesal melihat kelambatan saya. Hahaha...

Dan, yang membuat saya terus berjalan adalah seorang bapak yang setia menunggui saya di belakang. Bapak itu memanggul dua karung sampah, masing-masing satu di bahunya, yang disangga dengan sebatang kayu. Berkali-kali saya katakan agar bapak itu lebih dahulu melintasi tangga, tapi beliau berkata bahwa silakan saya duluan, pelan-pelan saja, dan bapak tidak akan mendahului saya. Mungkin kalau tidak ada bapak itu di belakang saya, gerak saya akan semakin lambat karena tidak ada yang membuat saya merasa tidak enak.

Akhirnya, tangga terakhir (tangga ke 560 berdasarkan perhitungan teman saya) dan saya tidak bisa berkata apa-apa. Perut saya yang sakit sudah menyita seluruh kerja otak saya. Keringat dingin membanjiri dan saya ingin muntah. Tidak bisa menanggapi lelucon-lelucon teman, tidak bisa berbicara panjang, bahkan serasa tidak bisa menopang kepala.

Kami pulang, dan sebelum saya naik mobil, saya muntah. Sudah saya bilang saya ingin muntah dan legalah saya ketika saya muntah. Paling tidak rasa pahit yang sedari tadi bergelung di ujung tenggorokan bisa dilepaskan.

Ah, perjalanan yang menyenangkan dan melelahkan. Mungkin kemarin pertama dan terakhir kalinya saya mengunjungi Curug Cimahi dan tempat-tempat semacam itu. Hahahaha... Daripada merepotkan orang, lebih baik saya di kamar menonton film.

Semalam, begitu sampai di kamar, saya berganti baju dan segera tidur. Terbangun nyaris 12 jam kemudian dengan betis yang kaku seperti kayu.

No comments:

Post a Comment