Friday, November 9, 2012

SARA dan Masa Kecil

Pembicaraan mengenai SARA selalu menarik jika dibicarakan dengan sudut pandang yang benar. Tidak memihak, tidak menjatuhkan lain pihak, tidak menghina, dan tidak lain sebagainya. Saya pribadi selalu tertarik pada hal yang berhubungan dengan SARA. Saya suka membaca dan menonton yang berkaitan dengan Yahudi-Nazi, tentang Negro, tentang perang saudara, dan tentang lain sebagainya. Tahu tentang hal itu berarti saya tahu bahwa saya (dengan restu-Nya) bisa menghargai perbedaan. Terbukti saya bisa berbaur dengan orang dari latar belakang apa saja. Mungkin karena, dalam alam bawah sadar, saya mengakui bahwa saya berada di pihak yang juga di bawah.

Dulu sekali, seorang teman berkata bahwa saya termasuk kelompok sangat minoritas. Pertama, saya perempuan. Kedua, saya Tionghoa. Ketiga, saya Katolik. Kenyataan itu jelas sudah saya ketahui sejak lama, sejak saya belajar memahami bahwa dunia tidak semudah yang saya gambarkan ketika duduk di bangku sekolah dasar. Saya pun sepakat dengan perkataan teman saya itu. Dan jelas, saya tidak sendirian.

Sejak kapan perbedaan tentang SARA mencuat? Pertanyaan itu yang ditanyakan seorang teman yang lain, di kala kami sedang berbincang santai sambil melihat hujan. Saya katakan saya tidak tahu, tapi yang pasti semua ada kaitannya dengan politik pemerintahan. Ya, apa yang tidak dikaitkan dengan politik? Bahkan Tuhan pun dianggap bermain politik.

Seorang teman yang lain lagi bertanya, mengapa tidak semua orang bisa menilai masalah tentang SARA dari sudut pandang yang tidak memihak. Kali ini kami berbicara agak serius dari biasanya. Saya katakan bahwa tidak semua orang peduli bahwa itu adalah suatu masalah. Bagi saya ini masalah, belum tentu masalah juga buatmu. Begitu pula sebaliknya. Ada lagi orang yang tahu tapi akhirnya pura-pura tidak tahu karena menurutnya itu bukan urusannya. Tidak mau mencampuri urusan orang lain.

Pandangan kita sebagai manusia terbentuk dari kita kecil. Peran keluarga dan lingkungan sangat memengaruhi. Teman saya itu berkata bahwa ia bersyukur bisa lepas dari doktrin-doktrin yang salah dari keluarganya. Ia bersyukur bahwa ia mengerti perbedaan itu bukan untuk dijadikan musuh tapi untuk dihargai. Dan sayangnya, tidak semua orang bisa memilih dan mau berusaha memilih. Kebiasaan dari kecil itu sudah menjadi habitus dan sulit dilepaskan dari kepala kita.

Sama halnya ketika kita melihat lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna menjadi hijau, kita akan jalan. Teman saya (yang berbincang sambil menatap hujan) berkata bahwa sampai sekarang pun ia sulit melepaskan konsep tentang warna kulit. Orang yang berwarna kulit anu pasti orang baik atau orang yang berwana kulit anu pasti orang jahat.

Ya, begitu dalam doktrin (kalau ini bisa saya sebut doktrin) yang dimasukkan ke dalam kepala kita sedari kita kecil. Hal-hal yang sebenarnya ingin kita abaikan ternyata menancap lebih dalam dari apa yang kita inginkan. Alam bawah sadar kita seolah menjadi lebih sadar.

Sampai sekarang pun kadang saya masih merasakan bahwa pemahaman-pemahaman yang diberikan melalui keluarga masih ada di kepala saya. Tapi kini saya sudah bisa memilih. Saya memandang orang bukan dari apa warna kulitnya, apa sukunya, apa agamanya. Saya memandang orang dari apa yang ia katakan yang berasal dari isi kepala dan hatinya.

No comments:

Post a Comment