Friday, October 28, 2011

Oktober dan Bahasa


Bertepatan dengan peringatan bulan bahasa pada bulan Oktober ini, Gelanggang, Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad, mengadakan sebuah acara Kami, Oktober, dan Bahasa tanggal 26-27 Oktober kemarin di Auditorium Bale Santika Unpad. Rangkaian acaranya berupa lomba pidato untuk mahasiswa asing, lomba pidato untuk mahasiswa Indonesia, lomba membuat puisi, diskusi, dan beberapa hiburan seni.

Saya tidak mengikuti acara ini dari awal. Saya hanya hadir pada hari kedua ketika ada pementasan Teater Djati. Setelah pementasan rencananya saya akan pulang, tapi ternyata ditahan oleh seorang teman untuk mengikuti diskusi. Diskusi ini bertema Bahasa dalam Dunia Media Massa Kini dengan pembicaran Bapak Teddi Muhtadin dan Bapak S. Sahala Tua Saragih. Diskusi ini lebih mengerucut pada penggunaan bahasa Inggris pada berita di media massa, atau lebih dikenal dengan istilah campur kode (kalau istilah Pak Sahala bahasa gado-gado).

Ternyata tidak salah saya ditahan oleh teman saya untuk mengikuti diskusi ini. Diskusi berjalan dengan baik dan menarik untuk saya. Mahasiswa yang hadir, meskipun kebanyakan adalah panitia, cukup tertib menyimak berbagai persoalan yang disampaikan.

Ketika sesi tanya-jawab dimulai, berbagai pertanyaan muncul. Ada yang pro, ada yang kontra. Semua dapat ditanggapi dengan jawaban yang dapat memuaskan saya.

Satu hal yang dapat saya simpulkan dari diskusi ini, yang sudah disimpulkan pula oleh moderator (Indra Sarathan), adalah untuk dapat mencintai bahasa Indonesia kita harus mencintai tanah air kita ini.

Pernyataan kedua teman saya, Eka dan Upil, pada sesi tanya-jawab menggugah saya, agak membuat saya risih. Eka mengatakan bahwa bahasa Inggris lebih praktis dibandingkan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, ada banyak kata yang harus ditempatkan pada hal yang tepat, misalnya, kata ‘saya’ mempunyai begitu banyak variasi, seperti aku, hamba, beta, dan sebagainya, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada satu, yaitu ‘I’. Upil pun sepakat dengan pernyataan Eka.

Menurut saya, penggunaan kata saya, aku, hamba, beta justru malah akan membuat bahasa kita semakin unik. Penggunaan kata-kata tersebut di saat yang tepat tentu akan menjadikan makna yang dihasilkan berbeda. Kata ‘saya’ lebih formal daripada kata ‘aku’, penggunaan kata ini pun akan memperlihatkan jarak antara dua orang yang sedang berbincang. Kata ‘hamba’ kerap digunakan untuk orang yang status sosialnya lebih rendah dibanding orang yang diajak bicara, banyak kita temui dalam cerita-cerita kerajaan pada masa lalu. Sedangkan kata ‘I’ akan menyamaratakan dan tidak menjadikan perbedaan antara orang yang diajak bicara.

Saya punya pendapat sendiri mengapa banyak orang yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam penggunaannya sehari-hari. Objek yang saya perhatikan adalah remaja-remaja dan orang-orang yang saya temui dalam keseharian saya. Banyak yang menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris untuk menyampaikan maksudnya karena tidak dapat menemukan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Zaman sekarang banyak yang sudah diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak mereka masih kecil, sehingga kata-kata itu lebih melekat pada mereka. Ini artinya mereka memang sudah terbiasa dengan bahasa Inggris sehingga jauh lebih mengenal bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

Ada pula yang menggunakan bahasa Inggris karena dengan bahasa Inggris mereka akan lebih terpandang (hmmm.. mungkin istilah kasarnya akan terlihat lebih gaul). Saya tidak hanya semata-mata menyimpulkan secara kasar karena hal ini berdasarkan kenyataan. Ada beberapa teman yang mengaku bahwa jika ia berbicara campur kode seperti itu ia akan terlihat lebih keren. Padahal belum tentu bahasa Inggris yang digunakan benar.

Teringat sebuah percakapan antara saya dan seorang teman, Si A. Di timeline twitter kami ada seorang teman, Si B, yang belakangan lebih sering berujar dengan menggunakan bahasa Inggris padahal Si B ini satu jurusan dengan saya. Memang tidak ada salahnya ia menggunakan bahasa Inggris, tapi ternyata bahasa Inggris yang digunakan oleh Si B ini berantakan. Kemudian saya menilai, saya tentu mengenal dengan baik Si B ini, bahwa ketika ia menuliskan kalimat-kalimat dengan menggunakan bahasa Inggris, ia merasa dipandang lebih keren oleh orang-orang yang membaca twitter-nya.

Dari dulu saya selalu tertarik dengan bahasa Indonesia. Mungkin karena saya suka membaca. Kebiasaan membaca membuat saya kemudian masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Tapi tidak semua mahasiswa Sastra Indonesia mengagung-agungkan bahasa Indonesia, apalagi teman-teman sepermainan saya. Banyak yang bertanya (aku ini mau jadi apa *lho kok nyanyi :P) mengapa saya masuk Sastra Indonesia, apakah saya tidak cukup belajar bahasa Indonesia dari TK sampai SMA. Begitu pesimisnya mereka terhadap Sastra Indonesia dan bahasa Indonesia.

Belajar bahasa Indonesia kerap kali membuat telinga saya agak sensitif terhadap penggunaan kata-kata yang salah. Acap kali saya membetulkan kata yang diucapkan seorang teman ketika ia bicara, misalnya ia menggunakan kata ’dirubah’ dan kemudian saya membetulkannya menjadi ‘diubah’. Kadang ada yang menerima, kadang ada yang kesal saya sok-sokan membetulkan ucapannya. Maksud saya toh baik, paling tidak saya bisa memberitahu mereka mana kata yang tepat dan mana yang tidak. Tapi ternyata tidak semua teman menganggap hal itu penting.

Tidak ada yang bisa disalahkan ketika tidak semua orang Indonesia bangga pada bahasa Indonesia. Dunia sekarang begitu maju, banyak kebutuhan lain yang lebih penting. Tapi apakah melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia tidak cukup penting? Mungkin memang banyak yang tidak cinta pada tanah air kita ini, atau mereka cinta tapi tidak begitu memperdulikan bahasa yang menyatukan berbagai suku dan budaya ini.

No comments:

Post a Comment