Saturday, December 10, 2011

Akung


Dalam perjalanan pulang dari Lebak Bulus ke Ciledug kemarin, saya satu angkutan dengan seorang kakek. Ia duduk di serong kanan depan saya. Udara yang panas dalam angkutan itu nyatanya takbanyak mengganggunya. Dengan sabar ia duduk menunggu angkutan itu penuh penumpang.

Usia kakek itu mungkin sudah 70 tahun. Rambutnya sudah putih benar. Kerut-kerut memenuhi seluruh badannya. Bola matanya pun sudah banyak diselimuti warna putih. Bercak-bercak khas orang tua dapat dilihat pada lengan-lengannya yang tidak ditutupi kemeja batik cokelat mudanya.

Sesekali ia tertidur. Sesekali pula ia terbangun ketika jalanan rusak. Sesekali matanya beradu dengan mata saya. Mungkin dia tahu saya lama sekali memperhatikannya.

Melihat kakek itu saya teringat dengan kakek saya, papa Mama saya. Dalam bayangan samar kemudian saya mengingat seperti apa rupa kakek saya. Akung atau Kung-kung, begitulah saya memanggilnya.

Akung saya meninggal pada tanggal 18 Februari 2002, tepat di hari ulang tahun saya yang ke 14. Hari itu hari kedua perayaan Imlek. Menurut kalender Cina, hari lahir saya tepat di hari kedua Imlek. Keluarga besar saya pun selalu merayakan ulang tahun saya di hari kedua Imlek. Baru tahun itu ulang tahun saya berdasarkan tanggalan Cina dan tanggalan internasional bertepatan. Pada hari kedua Imlek dan tepat pada hari ulang tahun saya, Akung saya dipanggil oleh Yang Maha Pencipta.

Masih teringat jelas situasi di rumah ketika itu. Kala itu musim hujan. Beberapa tempat dikawasan kami tinggal masih terendam air, termasuk lapangan bola yang terletak di depan rumah. Agak ke bawah. Lapangan yang menyerupai danau dijadikan tempat pemancingan tiba-tiba oleh Papa saya siang itu. Alat pancing yang dipegangnya seketika dilempar ketika Papa mendengar berita kematian Akung.

Mama saat itu sedang memasak ketika telepon berdering. Dari Bangka, rumah Akung saya berada. Para saudara akan datang malam hari. Kami berkumpul untuk berbagi kebahagiaan Imlek. Beberapa sudah datang membantu menyiapkan makanan. Isak tangis Mama takkunjung reda meskipun sudah berapa tangan yang mengelus punggungnya. Makanan takkunjung selesai dimasak karena semua orang kemudian lupa bahwa hari itu adalah hari kedua Imlek.

Saya masih ingat apa yang saya rasakan. Saya yang tadinya gembira karena akhirnya saya dapat berulang tahun di tanggal yang benar, baik tanggalan Cina maupun tanggalan internasional, tiba-tiba merasa bersalah karena Akung meninggal. Memang bukan salah saya Akung meninggal, tapi saya malah merasa bersalah karena Akung meninggal di hari ulang tahun saya.

Setelah itu situasi rumah menjadi kacau. Papa dan Mama saya segera mencari tiket pesawat ke Bangka. Kegiatan memasak dipegang oleh beberapa tante saya. Malam harinya kami masih berkumpul, tapi tidak ada suasana gembira, masing-masing turut dalam kesedihan yang dirasakan Mama. Saya pun tidak gembira menerima ucapan selamat ulang tahun dari saudara-saudara saya, saya masih merasa bersalah.

Berbulan kemudian, saya sekali memimpikan Akung. Saya tidak dekat dengan Akung karena sudah lama saya meninggalkan Bangka dan jarang pulang ke sana. Ketika saya menceritakan mimpi saya kepada Mama dan kemudian Mama menceritakannya kepada Nenek saya (Pho-pho), Pho-pho heran mengapa Akung malah datang ke mimpi saya. Pho-pho tahu saya tidak dekat dengan Akung, jelas saja dia heran.

Di mimpi saya, Akung terbujur kaku. Sudah meninggal nampaknya. Akung ditidurkan di atas sebuah meja panjang, memakai kaos singlet putih kegemarannya dan celana pendek yang biasa Akung gunakan di rumah. Seketika saya tahu Akung ingin sekali merokok. Bahkan sampai sekarang jika saya mengingat Akung, saya tidak lupa membayangkan sebuah lintingan tembakau di mulut Akung. Lintingan itu tidak pernah lepas dari mulutnya. Badannya pun lebih mirip bau tembakau.

Dalam setahun, ada beberapa sembahyangan diadakan dalam keluarga kami untuk menghormati arwah leluhur. Berbagai sajian digelar di atas meja. Sejak saya menceritakan mimpi saya, tidak lupa sebatang rokok kemudian dibakar untuk roh Akung saya. Tidak ada yang membantah. Kami semua tahu betapa eratnya hubungan Akung dengan rokok.

Sampai hari ini saya masih memikirkan kenapa saya bisa memimpikan Akung seperti itu. Sebuah mimpi yang manis bagi saya. Karena tidak ada yang memimpikan Akung seperti saya memimpikannya. Mungkin Akung tahu rasa bersalah saya, sehingga Akung datang dalam mimpi. Entah. Siapa yang tahu apa sebenarnya misteri bunga tidur itu. 

No comments:

Post a Comment