Wednesday, December 21, 2011

Dunia Fantasi


Awalnya liburan kemarin (yakin liburan?) saya dan seorang sahabat saya merencanakan perjalanan ke Jogja, namun karena satu dan lain hal saya memutuskan untuk tidak pergi. Tidak perginya saya pasti membuat kecewa sahabat saya itu, namun kemudian kami menyusun rencana lain, ke Dufan.

Entah kenapa dari dulu ketika saya merencanakan sebuah liburan di suatu tempat bersama teman-teman dari jauh-jauh hari, biasanya liburan itu gagal. Ketika rencana liburan itu diadakan dadakan, malah terlaksana. Pergilah kami berdua tanggal 13 Desember kemarin.

Dufan cukup ramai, tapi antrian permainan di beberapa tempat malah tidak panjang. Puaslah saya menikmati wahana-wahana yang membuat saya berteriak dan tertawa terpingkal-pingkal.

Saya selalu suka Dufan. Tempat itu selalu membuat saya santai dan membuat perasaan saya jadi menyenangkan. Pasti banyak yang merasa demikian karena Dufan taklepas dari para pengunjung yang datang padanya.

Ada dua permainan yang paling saya sukai di Dufan. Pertama Kora-kora dan kedua Ontang-anting. Kemarin saya dua kali naik Kora-kora dan tiga kali naik Ontang-anting. Jika sahabat saya itu lebih berani, nampaknya saya akan berkali-kali lagi naik Kora-kora. Kali ini dua kali sudah cukup menyenangkan buat saya.

Banyak yang takut naik Kora-kora, tidak dengan saya. Saya selalu duduk di bangku paling belakang karena tempat itu akan naik paling tinggi dan meluncur seolah-olah saya akan jatuh. Ketika meluncur, saya akan berdiri dan menaikkan kedua tangan saya. Rasanya menyenangkan ketika angin menderu, lekat pada kedua telapak tangan saya. Saya juga bisa berteriak sepuasnya sambil tertawa.

Sahabat saya bertanya kenapa saya suka sekali naik Kora-kora. Saya bilang ketika naik Kora-kora, saya bisa teriak sepuasnya. Dia berkata, kalau ingin berteriak kenapa tidak di pantai saya, letaknya toh tidak jauh dari Dufan. Ketika berteriak di pantai, pemincu untuk berteriak tidak ada. Pantai membuat saya santai tapi tidak ada pemicu yang bisa membuat saya berteriak sampai tenggorokkan saya sakit. Naik Kora-kora, ketinggian, luncuran, dan teriakan pemain yang lain bisa menjadi sebuah pemicu bagi saya untuk teriak sepuasnya. Rasanya lebih plong, lagi pula.

Ontang-anting wahana yang biasa-biasa saja. Wahana itu hanya berputar dengan kecepatan tinggi, sehingga nampaknya akan menabrak tembok-tembok pembatas. Kecepatan itu yang membuat saya senang menaikinya. Entah mengapa ketika menaiki wahana itu, saya tidak bisa berhenti tertawa. Saya suka ketika badan saya tidak bisa saya kontrol karena terbawa ke kanan, mengikuti kecepatan permainan.

Rasa letih yang saya rasakan sebanding dengan rasa senang yang saya dapatkan. Dengan hati yang masih riang, pulanglah kami ketika matahari sudah pergi ke bumi bagian lain. Naiklah kami bus Trans Jakarta, menuju Cawang, tempat kosan sahabat saya itu.

Tempat duduk sudah penuh, kami pun berdiri. Saya tidak keberatan karena perasaan saya ketika itu sangat baik. Namun ketika di setiap halte penumpang makin banyak memenuhi isi bus, kebahagiaan saya pun makin terhisap ke bawah, seolah-olah diambil oleh mereka yang melewati saya. Ketika itu saya berdiri di dekat pintu. Saya bisa melihat wajah-wajah letih orang-orang yang baru pulang kerja, yang berharap paling tidak mendapatkan sebuah tempat berdiri yang nyaman di dalam bus.

Pembagian tempat, perempuan di bagian depan dan laki-laki di bagian belakang awalnya berjalan dengan baik. Namun karena padatnya penumpang, akhirnya kami bercampur baur. Agak membuat saya tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi, semua orang ingin pulang dan sarana yang digunakan terbatas.

Di satu halte, masuklah seorang perempuan muda. Usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari saya. Dengan muka masam ia mencoba masuk. Dengan nada gusar ia berkata, “Geser dong. Gimana sih, kok ngga mau geser.” Seketika orang-orang memperhatikannya. Saya melihat ke dalam dan berpikir ke mana lagi kami harus menggeser tubuh-tubuh lelah kami ketika tangan yang memegang pegangan pun harus berbagi dengan dua-tiga tangan lainnya.

Saya tahu perempuan itu lelah. Tapi tahukan dia semua orang di dalam bus itu juga lelah? Rasanya keterlaluan ia tidak tahu. Itu jam orang pulang kerja, sudah pasti banyak orang dalam bus itu juga lelah, seperti dia. Saya pikir mungkin dia mendapatkan hari yang buruk. Mungkin ia dimarahi bosnya, atau bertengkar dengan teman kantornya, atau dengan pacarnya, atau apa pun. Namun, apakah wajib ia memberikan suasana yang tidak menyenangkan kepada penumpang lain?

Kebahagiaan saya hilang seketika. Seolah-olah saya dikelilingi oleh para Dementor (yang baca buku dan nonton film Harry Potter pasti tahu :P). Yang tersisa hanya tubuh yang semakin lelah, tertarik ke depan dan belakang ketika pedal rem dan gas diinjak bergantian.

Lalu di beberapa halte berikutnya terjadi sebuah kejadian yang tidak menyenangkan. Sopir salah membuka pintu. Tidak hanya pintu bagian kanan yang dibuka, bagian kiri pun ikut terbuka. Seorang pria terjepit di pintu kiri bagian belakang. Saya tidak bisa melihatnya, tubuhnya terhalang oleh tubuh-tubuh lain dalam bus itu. Dari suaranya saya tahu ia nampak kesakitan, dan beberapa penumpang pun berekspresi kesakitan ketika melihatnya. Para penumpang kemudian berteriak, minta pintu itu dibuka kembali karena ada seorang terjepit. Butuh beberapa menit untuk sopir memahami apa yang terjadi di dalam bus itu. Sudah pasti tidak hanya para penumpang saya yang lelah, sopir pun jelas kelelahan.

Setelah terbebas dari pintu, pria yang terjepit itu langsung berteriak memarahi sopir. Berbagai makian kasar ia keluarkan. Ia lampiaskan kepada sopir yang tidak bisa ia lihat itu. Kejadian itu makin membuat keadaan yang sudah tidak menyenangkan semakin tidak menyenangkan.

Saya tahu dia marah dan kesakitan, namun apa perlu mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas pada sarana umum yang isinya tidak hanya penumpang dewasa? Lagipula ia tidak berani mencaci-maki ketika tubuhnya terjepit di pintu. Ketika lepas, bukan rasa syukur yang diucapkannya malah makian yang bertubi-tubi. Apakah tidak berani ia mencaci ketika ia terjepit? Apakah ia takut ternyata cacian itu malah menjadikan keadaannya semakin buruk, seperti tangan atau kaki yang patah? Apakah setelah ia baik-baik saja dengan seenaknya ia bisa mencaci sopir yang tidak tahu apa-apa? Rasanya banyak penumpang yang kaget seperti saya, karena bus itu tiba-tiba hening, hanya ada teriakan pria yang terjepit itu.

Tidak adil rasanya menimpalkan semua kesalahan pada salah satu pihak. Dua-duanya jelas salah. Namun secara intuisi manusia akan mencari kesalahan pada diri orang lain untuk melindungi dirinya, terlebih pada saat seperti itu.

Terlepas dari suasana bus yang tidak menyenangkan, saya puas bisa bermain di Dufan. Tapi rasa puas itu akan hilang dan terlupa ketika badan dan kepala saya sudah penat oleh hal-hal yang tidak terduga. Saya akan mengunjunginya lagi, secepatnya :D


No comments:

Post a Comment