Sunday, February 19, 2012

Yolanda


Tiba-tiba saya teringat seorang anak kecil yang saya temui ketika saya sedang menunggu teman keluar dari ruang wisuda. Pagi itu, saya sedang asik dengan gorengan yang saya kunyah sampai akhirnya saya merasa ada yang memerhatikan saya.

Mata anak perempuan itu lekat pada mata saya. Jari telunjuk kanannya terselip di mulutnya, di cela giginya yang tanggal. Rambutnya ikal, ada bando pink melintang, serasi dengan bajunya. Segera saya alihkan pandangan saya. Saya terlalu lapar untuk bisa fokus pada hal-hal selain itu.

Gorengan hampir habis dan anak itu tidak lepas pula matanya dari wajah saya. Bodohnya, saya tidak sadar bahwa mungkin anak itu ingin pula gorengan yang saya makan. Sudah saya jelaskan, saya terlalu lapar untuk bisa mengerti apa yang terjadi di sekitar saya.

Saya panggil, dia bereaksi. Membuat gerakan khas anak-anak. Malu-malu. Menghindar. Saya kira selesai. Sudah.

Nyatanya anak itu mondar-mandir di sekitar tempat saya duduk. Saya heran, di mana orangtuanya. Kenapa anak itu bisa duduk sendirian di situ. Beberapa kali saya memutar kepala, mencari kira-kira siapa yang bersama anak itu tapi jawab taktemu.

Tarik-ulur itu berlangsung sampai mungkin setengah jam lebih. Akhirnya ia mendekat. Berani duduk di sebelah saya.

“Nama kamu siapa?”

Dia diam. Hanya tersenyum malu sambil mengulum jari telunjuk kanannya. Saya pun takmau memaksa. Saya diam.

Beberapa menit kemudian pertanyaan saya ulang dan dia tetap diam. Lagi-lagi kami bermain tarik-ulur. Sampai akhirnya dia mau menggerakkan bibirnya. Tanpa suara.

“Yolanda? Nama kamu Yolanda?”

Dia mengangguk. Ya, saya dapatkan namanya.

Pertanyaan demi pertanyaan pun saya dan teman saya lontarkan. Ceritanya membuat kami terkejut.

Yolanda ditinggal sendirian di luar. Ia datang bersama mama, tante, dan kakaknya. Kakaknya di wisuda saat itu. Karena dalam peraturan dikatakan bahwa anak kecil tidak diperbolehkan masuk ruang wisuda, ia ditinggal sendirian di luar.

Saya dan teman saya heran, kenapa orangtuanya berani meninggalkan anaknya yang baru lima tahun sendirian di luar, di tempat asing pula.

“Kamu ngga takut sendirian di sini?”

“Ngga?” Kepalanya menggeleng dan jarinya tetap dikulum.

Saya tarik jari itu dari mulutnya.

“Ngga boleh ngulum jari. Banyak cacingnya, nanti kamu sakit perut.”

Ia pun segera menarik tangannya ke belakang. Tapi dasar anak kecil, atau memang dasar kebiasaan, jarinya naik lagi ke mulut. Dan lagi saya tarik tangannya.

Satu jam lebih kami bersama Yolanda. Berbagai pertanyaan kami ajukan. Begitu pula dengan dia.

“Kakak ngga wisuda?” Tanyanya pada saya.

“Belum, Yola. Kakak belum wisuda. Hehehe...” Ekspresi yang sama saya berikan pada Yola, ekspresi ketika para handai taulan bertanya tentang kelulusan. Malu.

Pintu ruang wisuda dibuka. Saya pamit pada Yolanda.

“Kamu jangan ke mana-mana yah. Tunggu mama kamu di sini. Kalau liat mama, kamu panggil. Jangan ke mana-mana.”

Yolanda pun mengangguk. Jelas dia anak yang pintar dan berani. Anak perempuan yang hebat!

Kabar dari teman saya, Yolanda berhasil bertemu dengan keluarganya. Mamanya memanggil namanya dengan sukacita. Saya rasa mamanya pasti bangga pada anak perempuannya itu.

Kamu apa kabar, Yolanda? Masih suka mengulum jari telunjuk?

No comments:

Post a Comment