Friday, May 4, 2012

Lilin yang Takselalu Menyala*


*Judul ini dipakai dalam naskah drama karangan Abroorza A. Yusra

Semalam Jatinangor gelap. Karena gardu yang mengaliri listrik ke daerah Jatinangor meledak dan terbakar, maka Jatinangor gelap. Para penghuninya pun berlomba-lomba mencari tempat terang. Agar nyaman sepertinya.

Tadinya saya juga turut seperti mereka. Pergi mencari tempat terang. Rencananya ingin menonton sebuah film yang ternyata sudah tidak tayang lagi di sana. Ah, memang sudah takdir. Kembalilah saya dalam keremangan lilin di dalam kamar.

Tidak tahu apa yang harus saya lakukan, saya pun memandangi lilin. Lilin pertama sudah hampir habis. Dan saya baru menyadari bahwa lelehan lilin itu membentuk gumpalan-gumpalan yang indah. 

  
Ketika lilin di sekitar sumbu meleleh, cahaya api berkedip-kedip, agak redup. Namun ketika lelehannya turun, cahaya kemudian stabil dan terang kembali. Lelehan itu kemudian menjalar, melewati gumpalan yang sudah kering dan kemudian membentuk gumpala baru di sebelahnya. Jadilah gumpalan-gumpalan itu di sekeliling sumbu yang masih menyala.

Di penghujung akhirnya, sumbu lilin masih berusaha keras bersinar. Setelah habis ia terjatuh dan padam dalam lelehan lilin yang tidak bisa pergi ke mana-mana. Bahkan menonton penghabisan lilin itu pun waktu telah berjalan setengah jam. Tidak terasa memang. Karena mereka memang indah.


Beralihlah saya pada lilin kedua yang masih berdiri mulus dan tegap. Lelehannya masih sedikit, masih menggantung di badan lilin. Masih dapat bersinar lebih lama.

Lalu, saya pandangi bayang-bayang yang dihasilkan cahaya lilin di tembok kamar. Cahaya yang mengenai gantungan baju seperti tangan dengan tiga jarinya berdiri, yang lainnya seperti seorang wanita sedang memanjat. Pompa air minum seperti robot yang sedang menggapai langit-langit. Dan bayang-bayang itu bergoyang seiring gerak api. Mereka menari.

Sekarang listrik telah menyala lagi dan dua lilin itu tinggal menjadi gumpalan-gumpalan lelehan yang membeku.

No comments:

Post a Comment