Monday, June 25, 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah - Tere Liye



Judul               : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang       : Tere Liye
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama

Selalu ada buku pertama dari setiap pengarang yang harus kita baca agar kita bisa tahu seperti apa gaya penulisan pengarang tersebut. Bagi saya, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye merupakan buku perdananya yang saya baca. Ketika selesai membacanya, saya menyesal. Mengapa saya baru bertemu dengannya sekarang? Mengapa saya tidak berusaha membaca buku-bukunya yang lain, yang jauh lebih lama terbit dibandingkan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah?
Saya bisa membayangkan bahwa novel ini akan bercerita tentang cinta. Dari judulnya saya tahu ini kisah tentang cinta dan menyangkut budaya. Siapa tidak kenal dengan ‘angpau’ yang mengacu pada satu kebudayaan tertentu. Tapi, saya belum bisa membayangkan sepenuhnya imajinasi apa yang akan Tere Liye sajikan dalam 507 halaman tersebut.
Tere Liye tidak hanya berkisah tentang percintaan saja, tetapi lebih luas dari hal itu. Mungkin cinta bisa kita simpulkan sebagai tema utama novel tersebut, tapi tanpa unsur-unsur lain seperti budaya, persahabatan, dan falsafah hidup, buku ini akan menjadi hambar. Dengan racikan dan permainan kata yang pas, novel ini kemudian menjadi sangat menarik untuk dibaca.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah berkisah tentang Borno, seorang pemuda Pontianak lulusan SMA yang harus masuk ke dunia kerja karena memang keadaannya demikian. Ayahnya meninggal ketika Borno berusia dua belas tahun, meninggalkan Borno dan ibunya. Tapi Gang Sempit tempat mereka tinggal memang sempit, Borno dan ibunya tidak ditinggalkan sendiri. Masih ada sahabat-sahabat ayahnya yang turun membantu keluarga kecil itu.
Novel ini dibuka dengan prolog yang menceritakan kematian ayah Borno. Ayahnya meninggal ketika sedang mencari ikan di laut. Tersengat ubur-ubur. Alangkah tidak terimanya Borno ketika ia diberitahu bahwa dada ayahnya akan dibelah, jantungnya akan didonorkan pada orang lain yang saat itu sedang kritis, di rumah sakit yang sama. Borno yang baru berusia dua belas tahun tidak mengerti mengapa ayahnya yang sebenarnya masih bisa bertahan hidup harus dibelah dadanya dan diambil jantungnya. Ia hanya bisa menangis dan berteriak di lorong rumah sakit itu. Tapi siapa sangka, ternyata prolog yang penuh dengan sedu-sedan itulah yang pada akhirnya menjadi benang merah dari keseluruhan novel ini.
Setelah lulus SMA Borno bekerja. Pekerjaan pertamanya di pabrik karet. Dari muak sampai terbiasa dengan bau karet yang busuk, Borno bekerja. Sayangnya pabrik itu harus tutup dan Borno harus mencari pekerjaan yang lain. Kali kedua Borno pergi ke kantor syahbandar Pontianak, berharap akan mendapatkan pekerjaan. Namun syahbandar itu hanya menerima pekerja yang cakap sedangkan Borno hanya lulusan SMA. Untungnya syahbandar itu orang yang baik, ia merekomendasikan Borno ke Kepala Operator Feri Kapuas dan Borno diterima sebagai pemeriksa karcis.
Dewi Fortuna memang tidak bersama Borno kala itu. Para pengemudi sepit mengucilkan Borno karena ia bekerja di dermaga feri. Dermaga feri merupakan musuh besar bagi pengemudi sepit. Sejak ada feri di sepanjang sungai Kapuas tersebut, penghasilan pengemudi sepit jauh berkurang dan bahkan harus ada yang gulung tikar. Hal itu pula yang menimpa kakek Borno. Karena hal itulah Borno dianggap sebagai anak durhaka, bekerja di tempat yang sudah membuat keluarga pengemudi sepit merana.
Borno tetap bekerja di Pelampung, istilah yang digunakan oleh pengemudi sepit untuk menyebut feri, meskipun ia harus menanggung resiko. Setiap hari Borno pergi dan pulang kerja dengan menggunakan angkutan umum karena Bang Togar memasang pengumuman bahwa tidak ada satu pun sepit yang boleh mengantar Borno sampai Borno keluar dari tempat kerjanya itu. Betapa tidak merana hati Borno dikucilkan oleh orang-orang terdekatnya, namun asalkan uang kerjanya itu halal ia tidak masalah.
Lagi-lagi Dewi Fortuna menjauh dari Borno. Borno merasa ia harus keluar dari dermaga itu karena ternyata penarik tiket yang lain berbuat curang dengan jumlah tiket. Mereka korupsi. Borno yang hatinya selurus sungai Kapuas merasa tidak nyaman dan keluarlah ia dari sana.
Beranjaklah Borno menuju gedung-gedung tinggi. Ia hendak mencari kerja lagi. Kata yang punya gedung pekerjaannya sepele tapi uang yang dihasilkan begitu melimpah. Hanya urusan ludah-meludah yang pada akhirnya membuat Borno harus merelakan pekerjaan itu. Ia tidak bisa bekerja dikelilingi burung. Apalagi urusan ludah-meludah ini ternyata adalah sarang burung walet. Kembali menjauhlah Dewi Fortuna dari sisi Borno.
Sepit. Ide itu yang muncul kemudian dari ibu Borno setelah ia melihat Borno kerja luntang-lantung membantu tetangga di sekitar rumah. Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit karena itulah wasiat dari Bapaknya, jangan menjadi pengemudi sepit. Tapi setelah dijelaskan oleh ibunya, Pak Tua, Koh Acong, dan Cik Tulani, Borno pun sepakat akan belajar mengemudi sepit.
Borno pasti tidak pernah menyangka bahwa dari sepit inilah kehidupannya nanti akan berubah. Meskipun hari-hari awal ia belajar sepit, ah tidak, lebih tepat dikatakan dijadikan pesuruh oleh Bang Togar, terasa berat, Borno menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Untung ada Pak Tua yang senantiasa menemani dan sangat bijaksana dalam melihat satu kejadian.
Kisahnya sebagai pemuda bermula pada sepucuk angpau merah yang jatuh pada lantai sepitnya. Ia yakin pemilik angpau merah itu adalah seorang gadis cantik berwajah oriental yang naik sepitnya. Takpelak lagi bayang-bayang gadis itu muncul dalam kepala Borno.
Hari-hari berikutnya dilalui Borno dengan harapan dapat bertemu dengan gadis itu. Ia ingin mengembalikan angpau itu, karena mungkin angpau itu tidak sengaja jatuh ke sepitnya. Dan hari yang ditunggu pun tiba.
Ternyata gadis itu membawa angpau yang sama ketika Borno bertemu dengannya. Saat itu menjelang imlek dan gadis itu sedang membagi-bagikan angpau di dermaga sepit. Kecewalah hati Borno ketika tahu bahwa ternyata angpau yang ia temukan ternyata tidak istimewa.
Namanya Mei. Nama yang berdasarkan bulan kelahiran yang bagi Borno terlihat lucu. Hal itu pula yang ia sampaikan kepada Mei ketika kali lain ia bertemu, ketika Borno mulai menunggu di urutan tiga belas. Urutan itu sengaja diatur oleh Borno setelah ia tahu jadwal keberangkatan Mei.
Perjalanan yang disengaja, yang hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk mengarungi sungai Kapuas menjadi saat yang paling ditunggu Borno. Perjalanan singkat yang membuat perasaan Borno makin kuat pada Mei. Mei pun berbalas, menurut pandangan saya. Jika Mei tidak menaruh rasa pada Borno, tidak mungkin Mei dengan senang hati bertemu dengan Borno apalagi sampai minta diajarkan untuk mengemudi sepit.
Selain mengemudi sepit, Borno juga sering membantu di bengkel sahabatnya, Andi. Dari bengkel itulah ternyata diketahui bakat lain yang terpendam dalam diri Borno. Ia mahir dengan mesin. Ayah Andi pun menaruh harapan besar pada Borno, berharap kelak dapat membesarkan bengkel bersama Borno. Mei yang tahu kemahiran Borno terhadap mesin membelikan sebuah buku tentang mesin, hadiah untuk Borno. Betapa senang hati Borno ketika ia mendapatkan hadiah istimewa itu.
Perjalanan asmaranya tentu tidak berjalan mulus. Jika cerita ini lancar-lancar saja, tentu novel ini akan menjadi hambar. Mei harus kembali ke Surabaya, tempat kediamannya. Peristiwa ini membuat Borno luluh-lantak. Sedih akan kepergian Mei. Tapi Borno selalu yakin bahwa Mei akan kembali.
Pak Tua tiba-tiba jatuh sakit. Badannya yang sudah tua tidak mampu menerima segala macam makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Asam uratnya menjadikan tubuh Pak Tua ringkih. Ketika tahu ada terapi asam urat di Surabaya, Pak Tua mengajak Borno untuk ikut dengannya. Ini kesempatan untuk bertemu dengan Mei, pikir Borno.
Hidup ini penuh dengan kebetulan. Itu pun yang dialami oleh Borno. Ternyata tempat terapi Pak Tua sama dengan tempat terapi nenek Mei. Borno pun kebetulan bertemu di tempat itu. Pertemuan yang pada akhirnya mempertemukan pula Borno dengan ayah Mei.
Ayah Mei melarang Borno untuk bertemu dengan Mei. Borno ketar-ketir. Ia pun berpikir, siapalah dirinya ini hingga pantas untuk Mei. Keluarga mereka jelas-jelas berbeda. Mei dari keluarga berada sedangkan Borno hanyalah pengemudi sepit yang tidak jelas masa depannya. Kembalinya Borno ke Pontianak disertai pula dengan perasaan yang mengganjal tentang Mei dan ayahnya.
Pertemuan dengan dokter gigi cantik, Sarah, merupakan kisah yang menarik dalam novel ini. Lagi-lagi hidup penuh dengan kebetulan. Sarah merupakan anak perempuan yang ayahnya merupakan penerima donor jantung ayah Borno. Sarah dan keluarganya tidak pernah lupa akan kebaikan hati ayah Borno karena berkat jantung itu ayah Sarah mampu bertahan jauh lebih lama dari yang diharapkan.
Sarah merupakan sosok yang berbeda dibandingkan dengan Mei. Ia gadis yang manis, ceria, periang, dan baik hati. Meskipun seorang dokter, ia tidak segan-segan masuk dalam pergaulan Borno dan Gang Sempit. Sosok gadis ini menjadikan novel ini lebih berwarna.
Awalnya saya mengira bahwa Borno akan jatuh hati pada Sarah, tapi saya berpikir ulang bahwa cerita tidak akan semudah itu dibayangkan. Dan benar saja, konflik puncak yang berhubungan dengan Mei pun muncul.
Mei yang telah kembali ke Pontianak tiba-tiba tidak ingin bertemu dengan Borno. Ia tidak lagi datang dan naik sepit urutan tiga belas. Borno yang tidak mengerti berusaha mencari cara untuk bertemu dengan Mei. Sayangnya, Mei tetap tidak memberikan jawabannya, tetap menolak untuk bertemu dengan Borno.
Sampai akhirnya di akhir cerita, ketika sedang diadakan final mengemudi sepit dalam rangka tujuh belasan, bibi yang bekerja di rumah Mei mengabarkan bahwa Mei akan pergi ke Surabaya dan ia sedang sakit keras. Semua jawaban atas pertanyaan di kepala Borno ada pada sepucuk angpau merah yang dulu dijatuhkan oleh Mei di lantai sepit. Angpau yang bukan kebetulan jatuh melainkan dijatuhkan dengan sengaja.
Angpau itu berisi surat pengakuan Mei. Mei adalah anak dari dokter yang melakukan operasi ayah Borno dulu. Ibu Mei saat itu sedang haus akan nama kebesarannya sebagai dokter. Ayah Borno sebenarnya masih bisa diselamatkan, tapi karena hati ibu Mei yang telah dibutakan oleh nama besar, ia lebih memilih nama besarnya dibandingkan keselamatan ayah Borno.
Ibu Mei merasa bersalah dan terus menerus memikirkan peristiwa itu. Apalagi bayang-bayang Borno yang berteriak dan menangis membuat ibu Mei sangat merasa bersalah. Rasa bersalahnya itu kemudian menjadikan penyakit bagi ibu Mei. Hal itu pula yang terjadi pada Mei. Rasa bersalah Mei pada Borno menjadikan Mei jatuh sakit. Sakit yang tidak bisa diobati oleh dokter dan obat mana pun.
Benang merah yang dibangun oleh Tere Liye begitu rapi dan menarik. Peristiwa-peristiwa yang disajikan juga membangun cerita ini menjadi menarik. Setiap peristiwa membangun pula karakter dari setiap tokoh dalam novel ini. Mungkin ada kalimat yang mengatakan bahwa hati Borno adalah hati yang paling lurus, seperti sungai Kapuas. Tapi karakter itu tidak akan kuat ketika peristiwa yang disajikan tidak mendukung pembentukan karakter dari setiap tokohnya.
Kisah cinta merupakan kisah yang paling banyak dituangkan ke dalam bentuk fiksi. Kisah ini menjadi begitu populer untuk dibaca. Meskipun begitu, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tidak menjadikan kisah cinta sesuatu yang menye-menye, yang labil. Dengan kedewasaan yang pas pada pemilihan tokohnya, menjadikan novel ini dewasa dan di satu sisi tidak meninggalkan greget masa muda.
Humor-humor ringan pun disajikan dengan pas, tidak berlebihan. Humor yang sederhana. Ketika membacanya, pada halaman tertentu kita bisa mengangguk-anggukan kepala tanda setuju, dan di halaman berikutnya kita bisa pula ikut tertawa bersama tokoh-tokoh di dalamnya. Humornya tidak pasaran, tidak kita temui di buku lain yang mungkin memilih humor yang sedang menjadi tren.
Selain itu, novel ini juga berisi sentilan-sentilan bagi masyarakat modern masa sekarang. Ketika banyak novel membicarakan cinta dan metropolitan, Tere Liye malah memilih sungai Kapuas, Pontianak, bengkel, Gang Sempit, dan dermaga sepit. Tokoh Mei dan Sarah sendiri menjadi tokoh ‘pemberontak’ yang diciptakan Tere Liye untuk menggambarkan bahwa status sosial bukanlah hal yang membuat suatu jarak.
Selain itu, penamaan tokoh dalam novel ini pun memberitahu kita bahwa bangsa kita, Pontianak khususnya, penuh dengan kebudayaan. Perbedaan budaya itu, Borno yang asli Pontianak, Bang Togar yang orang Batak, Koh Acong yang orang Tionghoa, Cik Tulani yang melayu, merupakan perbedaan yang memperkuat, bukan perbedaan yang malah menjatuhkan.
Saya rasa, novel ini menjadi angin segar bagi pembaca muda ketika kita kehilangan arah untuk memilih sebuah bacaan. Tidak perlu mengarah ke barat untuk mengenal yang lain, cukup bukalah novel ini dan kita pun tahu bahwa ada penulis yang bisa menulis dengan baik.

No comments:

Post a Comment