Thursday, June 14, 2012

Samar-samar Tentang Soegija



Jika kita tidak mendapatkan atau sedikit mendapatkan sesuatu ketika kita selesai menonton sebuah film, paling tidak ada dua faktor yang bisa kita kaitkan dengan hal tersebut. Pertama, film yang kita tonton tidak (terlalu) bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Kedua, kita tidak bisa menangkap apa yang disampaikan film tersebut.

Rasa kantuk dan bosan serta tidak mengena adalah rasa yang ada ketika saya menonton film Soegija. Film yang dari sebulan kemarin sudah diumbar wajib ditonton oleh umat Katolik ini ternyata film yang mengecewakan bagi saya. Tidak seperti yang saya bayangkan dan apa yang saya tangkap masih samar-samar.

Gereja menghimbau agar umat mencontoh sikap Romo Soegija, tokoh pribumi pertama yang diangkat sebagai uskup, yang arif, bijaksana, dan penuh dengan belas kasih. Sosok yang bukan hanya sebagai seorang agamawan tetapi juga pahlawan pada masa itu. Tetapi, karena sosok tersebut ditampilkan dalam media film, maka yang harus dicari permasalahannya adalah film itu, bukan sosok asli Romo Soegija.

Para aktor utama tidak kuat memainkan tokohnya. Nirwan Dewanto sebagai Soegija terlalu kaku, terlalu berjarak bagi saya. Tidak seperti sosok yang dekat dengan umatnya, yang dipercaya, dan dihormati. Tokoh itu malah seperti tokoh pemimpin yang berjarak dengan sekitarnya, bahkan dengan tokoh Koster Toegimin (Butet Kertarajasa). Malah, tokoh Toegimin malah lebih menarik bagi saya dibandingkan Soegija. Tokoh tesebut lebih terlihat manusiawi.

Lepas dari apakah sosok Romo Soegija yang asli seperti itu atau tidak, penonton yang tidak mengenal akan mencaritahu bagaimana karakter dari Romo Soegija dari peran Nirwan Dewanto. Dan bagi saya, jika berdasarkan film tersebut, Romo Soegija adalah sosok yang kaku, yang menutup diri, tidak bersahabat, dan bukan sosok sebagai seorang pemimpin. Saya rasa bukan sosok itu yang ingin disampaikan. Saya rasa.

Lalu ada tokoh Mariyem yang diperankan oleh Annisa Hertami. Saya sebel dengan tokoh ini. Tokoh ini begitu membingungkan, sosok yang banyak ditemukan pada masa sekarang. Sosok perempuan muda yang masih labil. Mariyem diceritakan sebagai seorang perawat dengan karakter yang baik, pengasih, dan sensitif. Terlalu sensitif malah. Di kala waktu, ia terlihat begitu bahagia dalam percintaannya dengan seorang pemuda Belanda, Hendrick. Di kala lain, ia begitu meledak-ledak dalam amarah ketika Hendrick disangkanya menyinggungnya sebagai perempuan pribumi. Karakter Mariyem membingungkan buat saya. Bukan berarti saya membenarkan kata-kata Hendrick yang kadang memang membingungkan. Saya lebih menyayangkan penggambaran tokoh Mariyem yang tidak stabil. Padahal tokoh ini merupakan tokoh sentral.

Ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu dan tidak masuk akal. Adegan pertama adalah adegan seperti gambar di bawah ini.


Pada gambar tersebut ada pertengkaran antara dua laki-laki, saya lupa namanya. Adegan itu bagi saya tidak masuk akal karena paduan suara tetap menyanyi sepanjang pertengkaran dua lelaki tersebut. Padahal pertengkaran terjadi di depan barisan paduan suara. Logikanya, ketika ada yang bertengkar pasti pusat perhatian akan tertuju pada yang bertengkar dan seketika kegiatan akan terhenti. Tapi paduan suara tersebut tetap bernyanyi bahkan terlihat begitu menikmati pertengkaran tersebut.

Adegan kedua adalah adegan seperti gambar di bawah ini.


Adegan itu menurut saya tidak penting dan tidak perlu dimasukkan. Untuk apa menunjukkan bahu Mariyam yang terbuka? Apa motifnya? Lagipula, Mariyam sedang berganti pakaian dan menurut saya tidak masuk akal saja ketika Mariyam melihat-lihat kondisi bahunya padahal ia hanya ingin memakai baju.

Lalu, adegan seperti gambar di bawah ini seperti adegan di film Titanic. Pemain musik dalam kedua film tersebut sama-sama melanjutkan permainan musik mereka meskipun bahaya sedang mengancam. Yang menjadikannya berbeda adalah dalam film Soegija terlihat sekali tidak naturalnya para pemain. Lebih pada sebuah paksaan. Berbeda dengan film Titanic yang bermain musik karena keinginan masing-masing.


Dua tokoh pemimpin penjajah digambarkan sebagai dua sosok. Pertama sebagai sosok pemimpin yang kejam. Kedua sebagai sosok seorang ayah yang luluh pada anak kecil. Hal ini menyimpulkan bahwa perang sebenarnya tidak lebih dari paksaan, bahkan bagi para pemimpinnya. Ketika dihadapkan dengan anak-anak dan keluarga, hati mereka seketika rindu akan kehidupan dan tanah air mereka sendiri.

Simpulannya, film ini tidak fokus akan hal yang dibicarakan. Meskipun tokoh yang diangkat adalah tokoh Soegija, film ini tidak banyak membicarakan tokoh tersebut. Saya lebih melihat banyaknya pemusatan cerita pada tokoh Mariyem. Sehingga “Soegija, 100% Katolik 100% Indonesia” kurang saya dapatkan dalam film ini.

Bukan hanya cerita yang penting diperhatikan dalam pembuatan kisah fiksi, banyak hal kecil lain yang juga harus diperhatikan. Apalagi film ini film yang bisa saja jadi sebuah hal yang dipertentangkan dalam negeri ini. Tapi saya cukup bangga ternyata ada yang bisa mengangkat peristiwa-peristiwa penting yang bukan hanya tentang agama, tapi juga tentang sejarah bangsa dan kebangsaan.

Saya harap tidak semua penonton yang mengartikan secara harafiah hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam film ini. Banyak hal yang harus dicaritahu kebenarannya sehingga tidak timbul pemikiran pribadi yang subjektif. Mari menjadi pentonton yang bijak.

No comments:

Post a Comment