Monday, November 7, 2011

Angkutan Umum

Saya tidak terlalu tertarik menggunakan jasa angkutan umum, baik yang besar seperti bus dan kereta maupun yang kecil seperti mikrolet dan taxi. Jika bisa saya lebih suka menghindari mereka. Kadang saya sendiri bertanya-tanya mengapa saya lebih memilih menaiki mikrolet yang kosong dibandingkan dengan yang penuh. Padahal yang kosong akan jalan lebih lama dibanding yang penuh. Kemarin ketika naik sebuah bus, saya menemukan jawabannya.

Seperti cerita saya sebelumnya, saya menumpangi bus Jepang 45 jurusan Cililitan-Blok M untuk menuju rumah teman saya. Di tengah perjalanan naiklah dua pengamen, mungkin ayah dan anak. Hari itu hari Jumat, bukan hari libur dan ketika itu masih belum pukul 08.00. Awalnya saya berpikir anak ini tidak sekolah, tapi kemudian saya berpikir ulang mungkin ia masuk siang.

Dengan sound sederhana, lagu diputar dan anak itu bernyanyi. Yang membuat tenggorokkan saya sesak adalah ketika mendengar suara anak laki-laki itu. Suaranya sengau, nyanyinya dipaksakan. Suaranya seperti suara orang yang sakit tenggorokkan dan suaranya hilang. Saya rasa ini karena keadaan. Keadaannya membuat suara anak itu berubah. Dia harus bernyanyi dengan suara lantang entah berapa puluh kali tiap harinya. Saya pikir ia sudah terbiasa dengan sengau di suaranya. Tapi ia masih anak kecil!

Jawaban dari pertanyaan saya di atas adalah dalam angkutan umum terlalu banyak rasa. Saya sulit menjelaskan apa 'rasa' yang saya maksud di sini. Mungkin bisa dikatakan seperti perasaan. Rasa pengguna angkutan umum itu begitu semerbak di indera saya. Saya tidak bisa mengaturnya, tidak bisa mengontrol mereka. Saya cukup sensitif terhadap rasa, mungkin karena kebiasaan saya memerhatikan orang sehingga saya begitu peka pada lirikan mata, tarikan bibir, dan gerakan tangan yang begitu sederhana sekalipun. Banyaknya rasa yang meruap itulah yang membuat saya gelisah berada di tengah banyak orang dalam satu tempat. Saya kemudian sadar ini tidak hanya berlaku di angkutan umum tapi juga berlaku pula di tempat-tempat yang ramai. Di tempat ramai saya masih bisa 'kabur' dan pergi mencari tempat yang sepi, namun dalam angkutan umum, saya tidak bisa semata-mata turun. Bisa jadi tujuan yang saya tuju masih jauh.

Sering kali berada di keramaian membuat saya gugup. Jika di dalam angkutan umum, saya akan berusaha memandang ke luar. Sebisa mungkin tidak memerhatikan para penumpang yang lain meskipun mereka memerhatikan saya. Rasa mereka terlalu bermacam-macam, tidak semuanya positif.

Saya suka ketika kemarin saya naik bajaj. Bunyinya, meskipun memekakkan telinga ketika gas ditarik, lebih nyaman di telinga dibandingkan dengan bunyi klakson motor atau mobil yang dibunyikan bertubi-tubi di saat macet. Saya suka kendaraan beroda tiga ini. Mereka unik dan yang pasti tidak sesak orang :D


Saya juga menikmati naik Commuter Line dari stasiun Cawang ke stasiun UI. Waktu itu bukan jam-jam sibuk sehingga kereta tidak terlalu penuh penumpang. Stasiun pun tidak terlalu ramai, sehingga tidak banyak kegelisahan yang harus saya hadapi. Saya dan teman saya duduk di gerbong yang memang dikhususkan untuk penumpang perempuan. Ada beberapa pria yang masuk ke gerbong itu merasa heran mengapa isinya perempuan semua, tapi ketika mereka sadar, mereka mulai mencari gerbong yang lain. Rasanya makin nyaman.


Yang paling tidak nyaman selama perjalanan dua hari kemarin adalah ketika naik mini bus Deborah jurusan Depok-Lebak Bulus. Saya tidak begitu beruntung mendapatkan tempat duduk, sehingga saya harus berdiri dari Depok sampai Lebak Bulus. Tidak terlalu menjadi masalah buat saya, yang menjadi masalah adalah ketika harus berdiri berdesakan dengan penumpang yang lain yang kebanyakan laki-laki. Tidak terlalu nyaman bagi saya. Selain itu jalanan teramat sangat macet sekali (penggunaan kata yang tidak ekonomis karena memang begitu situasinya). Saya makin kesal ketika bus yang hanya bisa menampung sekian orang kemudian masih dijejali dengan penumpang. Saya tahu dengan cara itulah mereka mencari uang, namun bus yang penuhnya berlebihan tidak menjamin keselamatan tidak ada masalah bukan? Sering kali saya melihat Deborah ini sudah miring ke kiri karena kelebihan penumpang. Terkadang saya takut bus itu akan terguling saking berat sebelahnya.

Deborah yang saya naiki ban depannya tidak kempes seperti yang ini :P

Saya bahkan kemarin sempat berdoa, semoga nanti ketika saya lulus dan bekerja, saya tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Saya berharap saya mendapatkan pekerjaan di kota-kota lain selain Jakarta. Bagi saya ibu kota ini terlalu menyeramkan dan banyak sisi gelap yang tidak sanggup saya hadapi. Permasalahan angkutan umum dan kemacetan tentu sebagian hal kecil dibanding hal-hal lain yang bertebaran di sini. Saya juga berharap semoga ibu kota kita ini akan semakin baik menata dirinya. Semakin nyaman tempatnya, orang yang diam di dalamnya juga akan semakin tentram.

No comments:

Post a Comment