Tuesday, November 1, 2011

GSSTF, Sabtu, 29 Oktober 2011


Kemarin (29 Oktober 2011), lagi-lagi, kebetulan saya menyaksikan pementasaan GSSTF. Tadinya saya hanya ingin mampir sejenak di Nalar untuk bertemu dengan kawan-kawan di sana. Tapi ternyata Teh Mona memberitahu bahwa pukul 19.00 akan ada pementasan GSSTF di Gor Pakuan. Saya pun dengan senang hati akan menontonnya. Kali ini GSSTF mementaskan sebuah drama karya Nano Riantiarno.

Entah saya harus merasa senang atau gelisah, ternyata beberapa orang mengenal saya ketika saya diperkenalkan. Saya sudah diberitahu bahwa catatan saya tentang pementasan GSSTF sebelumnya di-share­ di group GSSTF di facebook. Saya pasti senang karena ternyata banyak yang mengapresiasi tulisan saya, tapi saya juga gelisah, takut banyak yang memandang negatif terhadap tulisan saya.

Beberapa orang kemudian meminta saya untuk menulis catatan tentang pementasan kali ini. Dari awal saya memang sudah berniat untuk menulis, namun diminta secara verbal malah membuat saya was-was dan semakin gelisah.

Ketika lampu dinyalakan, seorang pastor bangkit dari sebuah kursi goyang di kiri panggung. Kursi itu letaknya di sebelah kiri pintu. Seting panggung membentuk ruang tamu/keluarga sebuah rumah. Saya mencoba menggambarnya. Kira-kira seperti di bawah ini. Maaf jika ternyata gambar saya sama buruknya dengan tulisan saya :P



Keterangan:
  1. Kursi goyang
  2. Pintu masuk
  3. Jendela
  4. Pintu menuju dapur
  5. Jam Antik
  6. Pintu menuju kamar
  7. Dua buah lukisan
  8. Meja dapur + kompor
  9. Rak baju
  10. Rak buku
  11. Meja seterika
  12. Sofa
Adegan dimulai. Tokoh Mama sibuk di dapur. Lalu ia sibuk membangunkan anaknya, Benny. Sambil berteriak “Bangun!” Mama memukulkan tangannya di wadah besar yang terbuat dari kaleng. Ketika melihat adegan ini, saya kembali teringat akan pementasan yang lalu. Mama, kebetulan, diperankan oleh Iska. Pementasan yang lalu Iska memerankan tokoh perempuan tanpa mulut, sekaligus pengamen, dan hansip. Adegan itu sedikit mengganggu saya. Mungkin akibat pukulan kaleng yang bertubi-tubi. Ia hendak membangunkan anaknya, yang akhirnya berhasil, dan ia juga hendak membangun suasana yang tidak menyenangkan bagi penonton, dan itu juga berhasil.

Sayangnya, muka Mama tertutup oleh rambut yang tidak sepenuhnya terikat sehingga saya kurang jelas melihat mimik muka ketika ia berbicara. Meskipun tokoh Mama adalah seorang wanita tua yang miskin dan tidak terlalu memperdulikan penampilan, yang ditonjolkan oleh rambut, hal itu menghalangi penonton untuk melihat wajah Mama jika ia berbicara menyamping.

Lagi-lagi saya menyayangkan tempo pembicaraan yang cepat. Meskipun secara keseluruhan semua tokoh mempunyai vokal yang kuat dan artikulasi yang baik, tempo bicara setiap tokoh terlalu cepat sehingga saya juga tergesa-gesa menangkap setiap kalimat yang dilontarkan. Imbasnya, respon dari tiap kalimat dan beberapa kalimat penting pun jadi terlewatkan maknanya. Tapi saya kemudian berpikir, mungkin terlinga saya sajalahnya yang terlalu lama menangkap suara :P

Lalu Mama mulai memungut pakaian-pakaian yang berserakan di ruang itu. Saya kira itu baju kotor, tapi ternyata itu baju bersih karena kemudian Mama mulai menyeterikanya. Sepengalaman saya dan setahu saya, baju yang dibiarkan tergeletak adalah baju kotor, baju yang telah dipakai. Karena terlalu malas, saya kemudian menaruh baju kotor itu sembarang. Lagi pula, setelah beberapa saat menyeterika, Mama menyuruh mengambil baju bersih di dalam kamar.

Saya pikir adegan menyeterika itu merupakan adegan yang ‘berbahaya’. Banyak hal kecil yang harus diperhatikan. Jika itu lewat, akan mudah sekali ketahuannya. Misalnya, Mama mencolokan seterika ke sebuah terminal di bawah meja. Biasanya kita akan menunggu seterika itu panas baru menggunakannya. Tapi ternyata setelah beberapa detik seterika itu dicolok, Mama segera menyeterika. Kalau benar dialiri listrik, pasti seterika itu belum panas.

Contoh lain, ketika Magda, anak perempuan Mama, melanjutkan menyeterika, Magda mengambil minum di dapur padahal baju yang sedang ia seterika belum selesai. Lagi-lagi, sepengalaman dan setahu saya, jika kita ingin melakukan hal lain yang masih bisa ditunda ketika menyeterika, misalnya pergi ke kamar mandi, minum, dan sebagainya, kita akan menyelesaikan satu baju yang sedang diseterika. Beda halnya ketika ada telepon atau ada orang yang mengetuk pintu, kita akan menunda dulu menyeterika.

Lalu, ketika Mama pergi sejenak keluar untuk menitipkan belanjaannya, Mama meninggalkan seterika dalam keadaan hidup. Padahal mereka adalah orang miskin yang seharusnya peka terhadap biaya hidup yang mereka tanggung.  

Saya kagum dengan seting ruang dalam pementasaan ini. Ada pintu dan jendela sebagai sekat, tapi ternyata para pemain tidak konsisten dengan ruang yang telah mereka bangun. Ketika Magda dan Benny berbicara di depan, di dekat pintu menghadap penonton, saya berpikir, apakah mereka tidak tahu bahwa mereka itu berbicara dengan tembok, bukan dengan penonton. Sama halnya ketika Mama berbicara dengan Papa. Malah sebenarnya mereka telah menabrak tembok yang tidak kasat mata itu. Karena tidak ada tembok yang terlihatlah kemudian mereka lupa bahwa sebenarnya ada tembok di hadapan mereka.

Saya kemudian bermain-main sedikit dengan imajinasi saya. Di bayangan saya, saya akan menukar posisi pintu masuk dengan jendela. Atau bahkan saya akan menambahkan sebuah jendela di sebelah kanan pintu masuk. Dengan adanya sebuah jendela tambahan di depan, tentu akan membantu membangun sebuah motif ketika ingin berbicara di depan. Itu juga membantu membuat batas ruang menjadi lebih jelas sehingga penonton tidak malah lebih memperhatikan kaki dibandingkan dialog-dialog pemain.

Ada satu adegan yang menumpuk di sofa. Awalnya di sofa duduk Papa dan Magda. Kemudian Magda pergi sejenak dan duduklah Benny di sebelah Papa. Setelah Magda kembali, saya kira ia akan duduk di kursi kecil di sebelah sofa. Tapi ternyata Magda lebih memilih duduk di belakang Benny. Sofa itu cukup kecil, sehingga dengan adanya dua orang mendudukinya, itu sudah lebih dari cukup. Padahal ada sebuah kursi yang disediakan di kiri sofa, mengapa ia tidak digunakan. Karena tiga orang berada dalam satu sofa, saya sebagai penonton merasa itu tidak lagi nyaman dilihat, janggal.

Ketika tokoh Oma muncul, saya merasa saya pernah melihatnya. Kalau tidak salah tokoh Oma adalah perempuan yang membaca cerpen ketika acara Open House GSSTF. Koreksi saya bila salah. Oh ya, ini hanya intermezo J

Tokoh Oma hanya diperjelas oleh tubuh yang bungkuk. Tata riasnya tidak menunjukkan bahwa Oma sudah tua. Nada bicaranya juga hanya menegaskan bahwa ia seorang perempuan yang banyak bicara dan menyebalkan. Karakternya sendiri kurang kuat. Saya penasaran, mengapa Oma menggunakan sarung biru di bawah dress yang ia gunakan? Saya berharap ada yang bisa memberikan tanggapan.

Berbicara tentang rias wajah, rias wajah tokoh Mama juga tidak pas. Menurut saya malah tokoh Mama lebih muda dibandingkan anaknya sendri, Magda. Selain rias wajah, karakter tokoh Mama juga tidak kuat. Sifat keibuan yang biasanya muncul dari seorang ibu tidak muncul pada tokoh Mama.

Menjelang penghujung pementasan, teman yang menonton di sebelah saya bertanya apakah kursi goyang itu tidak difungsikan lagi. Saya jawab, mungkin nanti akan digunakan, pasti ada fungsi lainnya. Benar saja, Mama duduk di kursi goyang itu setelah Papa pergi. Lalu tidak lama muncul seorang Polisi yang mengabarkan bahwa Papa meninggal dalam kecelakaan. Sudut letak kursi goyang menurut saya tidak pas. Sisi itu terlalu sempit, dan lagi ketika terjadi percakapan antara Mama dengan Polisi jarak mereka jadi tidak enak dilihat karena Polisi terbentur oleh pintu masuk. Jika ia terlalu maju, maka ketika ia bicara dengan Mama ia akan blocking.

Mungkin banyak yang berkata bahwa saya terlalu memperhatikan hal-hal kecil yang tidak terlalu penting. Tapi bagi saya, ketika hal-hal kecil itu dilupakan, maka ia akan menjadi sebuah hal yang besar. Tidak ada hal besar yang tidak ditopang oleh hal kecil. Ini bukan tidak penting, hanya saja terkadang orang malas untuk membenahinya.

Kiranya semoga kita bisa sama-sama belajar dari setiap pengalaman yang kita alami. Mudah-mudahan saya tidak dianggap sebagai penonton yang hanya tukang kritik. Saya kadang menyadari bahwa saya lebih ‘ahli’ membenahi dibandingkan memainkan sebuah peran. Dan semoga tulisan ini tidak terlalu menyedihkan karena saya sendiri masih kurang puas dengan apa yang saya tulis.

Selamat ulang tahun GSSTF. Semoga bertambah besar dan berumur panjang. Semoga setiap karya yang dihasilkan senantiasa lebih baik J

NB1: sebaiknya sendal yang digunakan ditambah. Masa satu rumah dengan empat orang keluarga hanya punya satu sendal?

NB2: mungkin akan lebih baik jika Papa menggunakan sepatu berwarna hitam agar lebih terlihat sebagai seorang pekerja.

NB3: tidak harus jam antik, lebih penting jika jam itu berdetak. Lagipula bunyi detak jam kadang malah membangun suasana yang diinginkan. Meskipun akan ada persoalan ternyata jam itu hanya bergerak selama satu jam yang seting waktunya dari pagi hingga tengah malam.

2 comments:

  1. Aku dari Februari ini siapa nama sebenarnya? Atau bagaimana saya harus memanggilnya....? Apa pernah baca buku tentang dramaturgi (mungkin di pena ada)... supaya lebih tajam pisau kritik mu...

    Saya setuju dengan komentarmu tentang beberapa adegan yang tidak logis. Saya menyebutnya gerak tanpa motif. Padahal logika itu unsur utama dalam naskah-naskah realis seperti "jam dinding yang berdetak" ini.

    Logika-logika itu biasanya lahir dari analisa naskah yang cermat dan rajin. Memang ini memerlukan proses lama juga. Tapi itulah teater.
    Saya suka tulisannya. Menurut saya ulasan yang detil dalam tulisan ini, tidak mengganggu rasa "enak dibaca"
    Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Nama saya Fega, Kang. Kalau tidak salah waktu di Nalar, Sabtu kemarin, kita sudah berkenalan.

    Seingat saya, saya membaca buku sejenis dramaturgi itu hanya sambil lalu, tidak terlalu benar-benar menyimak apa yang ditulis di dalamnya.

    Memainkan naskah realis itu sebuah tantangan. Mereka dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga logika-logika dalam pementasan itu akan kentara sekali bila terlewatkan.

    Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir di sini, Kang. Terima kasih.

    ReplyDelete